HEADLINE
Dark Mode
Large text article

Ketika Sungai Menjerit dan Hukum Membisu”


RedMOL.id, Sanggau,Kalbar -- Di tengah megahnya gedung-gedung penegak hukum di pusat Kota Sanggau — Polres, Kejaksaan, dan kantor pemerintah — hanya beberapa kilometer jauhnya, suara mesin tambang emas ilegal kembali meraung di tepian sungai. Air yang dulu jernih kini berubah cokelat pekat. Ikan-ikan mati, nelayan kehilangan harapan, dan masyarakat hanya bisa menyaksikan kehancuran yang terus berulang.

Ironi ini bukan sekadar soal lingkungan. Ini adalah cermin dari kegagalan penegakan hukum.

Hukum yang Tumpul ke Atas

Undang-undang kita sebenarnya tegas. Pasal 158 UU Minerba menyebut, siapa pun yang menambang tanpa izin dapat dipidana lima tahun penjara dan denda Rp100 miliar. Pasal 98 UU PPLH bahkan menegaskan ancaman penjara bagi mereka yang mencemari lingkungan.

Namun mengapa di lapangan, pelanggaran terang-benderang justru dibiarkan?
Mengapa aparat yang berkantor hanya sepelemparan batu dari lokasi kejadian tidak bergerak?

Masyarakat sudah melapor, media sudah menulis, tetapi tambang tetap beroperasi. Ini bukan lagi kelalaian — ini pembiaran yang sistemik. Dan ketika hukum tak lagi ditegakkan secara adil, ia berhenti menjadi pelindung rakyat, berubah menjadi tameng bagi kepentingan segelintir orang.

Kehancuran yang Tidak Terlihat

Kerusakan lingkungan akibat tambang ilegal bukan sekadar soal air yang keruh. Lumpur dan bahan kimia yang digunakan dalam proses pemisahan emas (seperti merkuri) akan terus mengendap di dasar sungai, masuk ke tubuh ikan, lalu ke tubuh manusia.

Dampaknya bisa berlangsung puluhan tahun: anak-anak tumbuh dengan gangguan saraf, hasil tangkapan nelayan hilang, dan banjir menjadi ancaman rutin akibat sedimentasi.
Sungai yang dulu menjadi sumber kehidupan, kini perlahan berubah menjadi kubangan racun.

Diamnya Aparat adalah Kejahatan Moral

Dalam konteks seperti ini, diamnya aparat bukan netralitas — melainkan kejahatan moral.
Mereka yang digaji oleh rakyat untuk melindungi, justru membiarkan rakyat menderita.
Ketika hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, kepercayaan masyarakat terkikis, dan negara kehilangan wibawanya.

Kita Tidak Butuh Janji, Kita Butuh Aksi

Warga Sanggau tidak menuntut banyak: cukup agar hukum ditegakkan tanpa pandang bulu.
Polres Sanggau, Kejaksaan Negeri, Dinas Lingkungan Hidup, dan Pemerintah Daerah harus turun langsung ke lapangan, menutup lokasi tambang, menyita alat berat, dan menyeret aktor di baliknya ke meja hijau — siapa pun mereka.

Kita juga mendesak pemerintah provinsi dan pusat untuk tidak menutup mata terhadap apa yang terjadi di daerah. Sanggau bukan satu-satunya, tapi bisa menjadi simbol: apakah negara sungguh hadir melindungi lingkungannya, atau sekadar menjadi penonton yang apatis.

Sungai Bukan Warisan, Tapi Titipan

Sungai Kapuas dan anak-anak sungainya bukan warisan untuk dieksploitasi, melainkan titipan yang harus dijaga.
Jika hari ini kita diam, generasi berikutnya hanya akan mewarisi air beracun dan tanah gersang.

Sanggau sedang menjerit — bukan karena tambangnya, tapi karena hukum yang bungkam.


---

Penulis: AZ – Tim Investigasi WGR

Post a Comment
Close Ads
Floating Ad Space