Menperin dan APSyFI Kritik Sri Mulyani terkait Penurunan Industri Tekstil
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.Foto |
Jakarta, RedMOL.id - Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita bersama Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta secara kompak mengkritik Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Kritik tersebut terkait dengan pernyataan Sri Mulyani mengenai penyebab pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri tekstil.
Pernyataan ini disampaikan oleh Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN). Dalam rapat tersebut, Sri Mulyani merespons pernyataan Anggota Komite IV DPD perwakilan Jawa Tengah, Casytha Kathmandu, mengenai maraknya penutupan pabrik tekstil yang memicu PHK.
Menurut Sri Mulyani, terpuruknya industri tekstil dalam negeri disebabkan oleh kelebihan kapasitas serta praktik politik dumping dari negara lain. Hal ini menyebabkan barang-barang impor murah membanjiri pasar dalam negeri.
"Karena di dunia terjadi excess (kelebihan) kapasitas, terjadi banyak sekali dumping dan kita juga harus hati-hati terhadap kebutuhan kita melindungi ekonomi kita di dalam negeri," ujar Sri Mulyani dalam rapat pada Selasa (11/6/2024).
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang menyetujui bahwa dumping memang menjadi penyebab terpuruknya industri tekstil dalam negeri. Ia mengapresiasi kebijakan Kementerian Keuangan yang selama ini mendukung industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Namun, Agus menekankan bahwa Kementerian Perindustrian juga berupaya melindungi industri dalam negeri dari kerugian serius akibat lonjakan produk impor dengan menggunakan instrumen trade remedies, seperti Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD).
"Keberhasilan upaya tersebut harus dilakukan secara komprehensif, tidak cukup oleh Kementerian Perindustrian sendiri karena kewenangannya tidak hanya di Kementerian Perindustrian saja," tegas Menperin.
Namun, Agus mengkritik lambatnya perpanjangan BMTP Kain yang masa berlakunya telah berakhir pada 8 November 2022. Meskipun perpanjangan BMTP Kain telah disetujui, hingga saat ini belum ada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang menjadi dasar pelaksanaannya. Agus menilai ada inkonsistensi dalam pernyataan Sri Mulyani, yang menyalahkan praktik dumping tetapi tidak segera membuat kebijakan untuk mengamankan pasar TPT dalam negeri.
Menperin juga menilai bahwa inkonsistensi kebijakan ini menyebabkan meningkatnya PHK di sektor tekstil, termasuk kebijakan menghapus larangan dan pembatasan (lartas) bagi produk TPT hilir berupa pakaian jadi dan aksesori pakaian jadi.
"Padahal, pemberlakuan lartas melalui pemberian Pertimbangan Teknis untuk impor merupakan langkah strategis untuk mengendalikan masuknya produk-produk yang merupakan pesaing produk dalam negeri di pasar domestik," terang Agus Gumiwang.
Sementara itu, Redma Gita Wirawasta menilai pernyataan Sri Mulyani hanya upaya pengalihan isu untuk menutupi kegagalannya dalam membersihkan Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan. Kalangan industri tekstil nasional menuding kinerja buruk dari DitJen Bea Cukai sebagai salah satu penyebab utama gelombang PHK dan penutupan perusahaan dalam dua tahun terakhir.
"Kita bisa lihat dengan mata telanjang, bagaimana banyak sekali oknum di Bea Cukai terlibat dan secara terang-terangan memainkan modus impor borongan/kubikasi dengan wewenangnya dalam menentukan impor jalur merah atau hijau di pelabuhan," jelas Redma dalam keterangannya, dikutip Jumat (21/6/2024).
Menurut Redma, data trade map menunjukkan adanya gap impor yang tidak tercatat dari China yang meningkat dari US$ 2,7 miliar pada tahun 2021 menjadi US$ 2,9 miliar pada tahun 2022. Jumlah ini diperkirakan mencapai US$ 4 miliar pada tahun 2023. Redma menuding tindakan oleh Bea Cukai bersama para mafia impor menyebabkan penumpukan kontainer di pelabuhan, memaksa pemerintah melakukan relaksasi impor melalui Permendag 8 2024.
RedMOL Jakarta