HEADLINE
Dark Mode
Large text article

Racun di Sungai Kapuas: Tambang Ilegal, Aparat, dan Harga Sebuah Keheningan”


RedMOL.id
, SANGGAU, KALBAR — Sungai Kapuas kembali bergemuruh, bukan karena derasnya arus, melainkan oleh deru mesin tambang emas ilegal yang beroperasi tanpa henti. Di sepanjang aliran sungai, dari Desa Sungai Batu hingga Mapai dan Semerangkai, lanting-lanting bermesin jek berjejer seperti tak tersentuh hukum. Bau solar, oli, dan lumpur bercampur dengan suara tawa para penambang — seolah alam dan hukum bisa dibeli.

Padahal, Kapolda Kalimantan Barat beberapa waktu lalu bersumpah akan menindak tegas penambangan emas tanpa izin (PETI) hingga ke cukong besar di belakangnya. Namun kenyataannya, peringatan itu kini dianggap warga hanya sebagai gurauan. Aktivitas PETI justru semakin marak, dan aparat di lapangan seakan kehilangan daya — atau mungkin sengaja menutup mata.

Informasi yang dihimpun dari berbagai sumber menyebutkan, setiap lanting yang beroperasi diduga wajib menyetor uang kepada oknum petinggi aparat penegak hukum (APH) di Sanggau. Nilainya bukan kecil — sekitar Rp7 juta per minggu per lanting. Uang itu disebut-sebut sebagai “jaminan keamanan” agar aktivitas ilegal mereka tak diganggu razia. Dengan ratusan lanting yang beroperasi, jumlah setoran itu bisa mencapai miliaran rupiah setiap bulannya.

“Sudah jadi rahasia umum. Semua orang tahu ada setoran rutin. Karena itu penambang berani buka siang bolong. Kalau tak ada ‘backing’, mana mungkin mereka bisa sebebas itu?” ujar IW, pemerhati lingkungan di Sanggau, dengan nada geram. Ia menilai situasi ini sebagai bukti kuat bahwa penegakan hukum di daerah tersebut telah tumpul, bahkan mungkin telah “dibeli”.

IW menambahkan, beberapa kali saat pemberitaan PETI viral di media sosial, aparat hanya melakukan patroli simbolis di sungai. Mereka membuat video, berfoto, lalu mengklaim tidak menemukan aktivitas tambang. “Padahal dari video warga jelas terlihat titik koordinat dan waktu kejadian. Ini bukan soal tak tahu, tapi soal mau atau tidak mau menindak,” tegasnya.

Sementara itu, kondisi Sungai Kapuas kini semakin memprihatinkan. Air yang dulu jernih kini berubah menjadi keruh kecokelatan. Limbah merkuri (air raksa) dari proses pengolahan emas mencemari air dan tanah, membunuh ikan, serta mengancam kesehatan warga di sepanjang bantaran sungai. Banyak nelayan mengaku hasil tangkapan mereka menurun drastis dalam beberapa bulan terakhir.

“Anak-anak kami sudah tidak bisa mandi di sungai. Kulit gatal, ikan mati, airnya bau logam. Tapi pemerintah diam saja,” keluh An, warga Desa Mapai. Ia menilai pemerintah daerah dan aparat penegak hukum sudah kehilangan empati terhadap penderitaan rakyat kecil yang hidup dari sungai.

Aktivitas PETI ini jelas melanggar Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba, dengan ancaman penjara hingga 5 tahun dan denda Rp100 miliar. Pencemaran akibat merkuri juga melanggar Pasal 98 dan 99 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dengan ancaman pidana 10 tahun penjara. Sedangkan dugaan setoran rutin Rp7 juta per minggu kepada oknum aparat berpotensi dijerat Pasal 12 huruf e UU Tipikor Nomor 31 Tahun 1999, dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara.

Desakan agar Polda Kalbar dan Mabes Polri turun tangan kini semakin menguat. Banyak pihak menilai kasus ini tidak bisa lagi ditangani oleh aparat lokal karena diduga telah terjadi konflik kepentingan. “Kalau dibiarkan, ini bukan sekadar tambang liar, tapi kejahatan terorganisir yang melibatkan oknum berseragam,” ujar IW lagi.

Sungai Kapuas, urat nadi kehidupan masyarakat Kalimantan Barat, kini seolah berteriak meminta keadilan. Jika pembiaran terus terjadi, bukan hanya lingkungan yang hancur, tapi juga wibawa hukum di negeri ini. Alam boleh diam, tapi murkanya pasti datang — dan sejarah tidak akan melupakan siapa yang bersekongkol membiarkan Kapuas mati perlahan.[AZ]


Sumber:(Tim Investigasi WGR)

Post a Comment
Close Ads
Floating Ad Space