PEMILIHAN REKTOR: ANTARA MEMBANGUN OPINI DAN MEMBUSUKKAN KARAKTER
Oleh Buyung Syukron, Dosen UIN Jurai Siwo Lampung
![]() |
Dosen UIN Jurai Siwo Lampung (Foto Istimewa Arsip Pribadi) |
Lampung, RedMOL.ID - Pemilihan rektor (Pilrek) bukan sekadar ritual administratif atau politik kampus biasa. Di balik layar, ada dua kekuatan besar yang bertarung: membangun opini yang sehat versus pembusukan karakter yang merusak. Pilrek ibarat perjalanan panjang yang menguji kebijaksanaan kita dalam memilih pemimpin. Sayangnya, di perjalanan itu, kerap muncul jebakan antara fakta dan fitnah, integritas dan pencitraan semu.
Bayangkan sebuah desa damai. Datang seorang pemuda membawa janji manis mengubah tanah tandus jadi ladang subur, membangun jembatan penghubung antar desa. Namun, seiring waktu, desas-desus mulai bermunculan: sifat arogan, masa lalu yang tak menguntungkan, cerita yang merusak reputasi. Di balik janji muluk itu, karakter sang pemuda mulai dipertanyakan.
Inilah gambaran Pilrek kita: opini sering dibentuk dari kisah menarik, tapi tidak jarang distorsi yang menonjolkan sisi negatif calon, mengubur potensi mereka. Pembusukan karakter bukan sekadar serangan personal, tapi mengaburkan tujuan besar—mencetak pemimpin berkualitas. Prosesnya seperti menggali kuburan reputasi, lalu perlahan memakan habis citra calon, meninggalkan kehancuran.
Jika pembusukan diterima, opini publik pun terperangkap dalam kesalahan yang kelak dianggap kebenaran. Padahal, seharusnya Pilrek jadi arena membangun opini adil dan berimbang. Opini yang jernih melihat kualitas dan visi calon, bukan sekadar perang pencitraan sesaat.
Secara filosofis, konflik antara membangun opini dan membusukkan karakter ini adalah dilema etis dalam dunia akademik. Pilrek bukan hanya soal memilih pemimpin, tapi bagaimana kita berkontribusi dalam proses itu. Sebagai masyarakat beradab, opini harus berdasar pada rekam jejak, kemampuan, dan visi, bukan rumor atau fitnah. Karena saat membangun opini, kita tak hanya membentuk citra seseorang, tapi juga masa depan kita bersama.
Sebaliknya, pembusukan karakter bukan hanya menghancurkan individu, tapi juga merusak prinsip dasar pemilihan yang adil dan berintegritas.
Kita harus ingat, Pilrek bukan perebutan kekuasaan semata, tapi penentu arah dan nasib kampus kita. Membangun opini yang sehat adalah kewajiban menjaga martabat dan kredibilitas pendidikan. Di era informasi yang cepat tersebar, opini sehat lebih berharga daripada sekadar saling menjatuhkan.
Saya ingin menutup dengan analogi sederhana: ada tukang kebun yang iri dengan tanaman tetangga. Alih-alih merawat kebunnya, ia malah menginjak akar tanaman tetangga, menyiram racun halus, dan menyebar cerita buruk tentang tanaman itu. Ia berharap tanaman tetangga mati, walau sebenarnya tanaman itu punya potensi luar biasa. Sayangnya, merusak kebun orang lain akhirnya menghancurkan ekosistem semua kebun, tanpa ada ruang untuk tumbuh sehat.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Hujurat ayat 12:
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain...”
Mereka yang membusukkan karakter calon lain dalam Pilrek bukan hanya merusak individu, tapi juga melemahkan proses demokrasi kampus. Pada akhirnya, yang rusak bukan hanya calon, tapi juga lembaga yang harusnya tumbuh penuh potensi.